|
Hipertensi
Teoritis Penyakit
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Smeltzer, Bure, 2002).
Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output (Setyono, 2001).
2. Klasifikasi hipertensi
a. Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu
1) Hipertensi primer (esensial)
Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999).
) Hipertensi sekunder
Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi. (Wibowo, 1999).
b. Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu
1) Hipertensi diastolik (diastolic hypertension)
Peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
2) Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi)
Peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.
3) Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
Peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut.
(Ismudiati, 2003)
3. Kategori hipertensi
WHO membagi hipertensi sebagai berikut:
Tabel 2.1
Klasifikasi Tekanan Darah Menurut WHO
| Sistolik (mmHg) | Diastolik (mmHg) |
Normal Borderline Hipertensi definitif Hipertensi ringan | 140 140-159 160 160-179 | 90 90-94 95 95-140 |
(Ismudiati, 2003)
JNC/ DETH membuat klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 2.2
Klasifikasi Tekanan Darah Usia >18 Tahun
Kategori | Sistolik (mmHg) | Diastolik (mmHg) |
Normal Normal tinggi Hipertensi: Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 | <130 130-139 140-159 160-179 180-209 >210 | <85 85-89 90-99 100-109 110-119 >120 |
(Ismudiati, 2003)
4. Etiologi hipertensi
Corwin (2000) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, valume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.
Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.
5. Patofisiologi hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, Bare, 2002).
6. Tanda dan gejala hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Smeltzer, Bore, 2002).
Crowin (2000: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :
a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Novianti, 2006).
7. Faktor-faktor resiko hipertensi
Faktor resiko hipertensi meliputi :
a. Usia
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Tambayong, 2000).
Penyakit hipertensi akan meningkat sejalan bertambahnya usia, dari 5% pada usia 20 menjadi 45% pada usia 70 tahun. (Stein, 2001).
Diperkirakan 2/3 dari pasien hipertensi yang berumur lebih dari 60 tahun akan mengalami payah jantung kongestif, infark miokard, stroke diseksi aorta dalam lima tahun bila hipertensinya tidak diobati (Tjokronegoro, 2001).
Satu dari lima pria berusia diantara 35-40 tahun memiliki tekanan darah yang tinggi. Angka prevalensi tersebut menjadi dua kali lipat pada usia antara 45-54 tahun. Sebagian dari mereka yang berusia 55—64 tahun mengidap penyakit ini. Pada usia 65-74 tahun prevalensinya menjadi lebih tinggi lagi sekitar 60% menderita hipertensi (Vitahealth, 2004).
b. Jenis kelamin
Pada umumnya insiden pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insiden pada wanita akan meningkat, sehingga pada usia diatas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000)
Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita (Tjokronegoro, 2001).
c. Obesitas
Obesitas adalah ketidak seimbangan antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan sub kutan tirai usus, organ vital jantung, paru dan hati) yang menyebabkan jaringan lemak in aktif sehingga beban kerja jantung meningkat.
Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% atau lebih dari berat badan ideal. Obesitas adalah penumpukan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dengan perhitungan IMT > 27.0. pada orang yang menderita obesitas ini organ-organ tubuhnya dipaksa untuk bekerja lebih berat, oleh sebab itu pada waktunya lebih cepat gerah dan capai. Akibat dari obesitas, para penderita cenderung menderita penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan diabetes mellitus (Notoatmodjo: 2003).
Bukti mengenai hubungan yang langsung, erat dan taat asas antara berat badan dan tekanan darah muncul dari kejadian pengamatan secara lintas bagian dan prospektif. Pada kebanyakan kajian, kelebihan berat badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat hipertensi. Pada populasi barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh obesitas diperkirakan 30-36% dari data pengamatan tekanan darah menunjukkan kenakan tekanan darah sistolik 2-3 mmHg dan tekanan darah diastolik1-3 mmHg untuk setiap kenaikan 10 kg berat (Padmawinata, 2001).
Prevalensi obesitas menunjukan peningkatan sesuai dengan pertambahan usia pada umumnya berat badan laki-laki mencapai puncaknya pada usia 35-65 tahun dan pada wanita antara 55-65 tahun. Selanjutnya berat badan akan menurun baik pada laki-laki maupun perempuan. Berat badan normal terjadi pada saat dewasa dan meningkat secara cepat pada usia 50 tahun. Tingkat metabolik basal dan pengeluaran energi untuk aktivitas fisik menurun saat memasuki usia dewasa sehingga kalori hanya dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan energi. Namun pada usia pertengahan ( + 50 tahun ) dan dewasa lanjut asupan kalori sehingga mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi serta diabetes mellitus tipe 2 (Wirakusumah, 2000).
Berat badan berlebih akan meningkatkan detak jantung dan tingkat insulin dalam darah. Meningkatnya insulin menyebabkan tubuh anda meningkat sodium dan air. Semakin besar massa tubuh, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi kepada jantung. Berarti volume darah yang diedarkan melalui pembuluh darah meningkat menciptakan kekuatan tambahan pada dinding arteri (Sheps, 2000).
Penyelidikan epidemiologi membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi. Juga dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan timbulnya hipertensi dikemudian hari. Belum diketahui mekanisme yang pasti yang dapat menjelaskan yang dapat menjelaskan hubungan obesitas dengan hipertensi primer. Pada penyelidikan dibuktikan bahwa curah jantung dan volume darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal dengan tekanan darah yang setara. Pada obesitas tahanan perifer berkurabf atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meningkat dengan aktivitas renin plasma yang rendah (Tjokronegoro, 2001).
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang menunjukkan adanya tekanan darah yang meninggi merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi dimasa yang akan datang. Tekanan darah kerabat dewasa tingkat pertama (orang tua saudara kandung) yang dikoreksi terhadap umur dan jenis kelamin tampak ada pada semua tingkat tekanan darah (Padmawinata, 2001).
Faktor bawaan dari orang tua penting dalam menentukan apakah akan menderita tekanan darah tinggi atau tidak. Kemungkinan menderita tekanan darah tinggi atau tidak. Kemungkinan menderita tekanan darah tinggi kurang lebih 1:3 jika salah satu orang tua menderita tekanan darah tinggi atau pernah mendapar stroke sebelum usia 70 tahun. Risiko ini meningkat menjadi 3 : 5 jika kedua orang tua mengalaminya (Sample, 1997).
Peran faktor genetik terhadap hipertensi primer dibuktikan dengan berbagai faktor yang dijumpai. Adanya bukti bahwa kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar monozigot dari pada heterozigot. Jika salah satu diantaranya menderita hipertensi. Menyokong pendapat bahwa genetik mempunyai pengaruh terhadap timbulnya hipertensi (Tjokronegoro, 2001).
Keluarga yang mempunyai riwayat hipertensi, mempunyai kecenderungan yang besar bagi keturunannya menderita hipertensi. Sebanyak 60% penderita hipertensi didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarganya, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosa hipertensi. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi lebih besar (Tjokronegoro, 2001).
Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua anda ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka anda akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang anda untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60% (Sheps, 2000).
Para peneliti percaya bahwa beberapa orang yang mengidap tekanan darah tinggi, gen yang menentukan reproduksi dan pelepasan angiotensin dalam tubuh mugkin mengalami kerusakan yang menyebabkan tubuh orang-orang tersebut memproduksi angiotensin terlalu banyak. Pada 70-80% kasus hipertensi primer didapat riwayat hipertensi didalam keluarga meskipun hal ini belum dapat memastikan diagnosis. Jika didapatkan riwayat hipertensi pada kedua orang tua dugaan terhadap hipertensi primer makin kuat (Tjokronegoro, 2001).
e. Konsumsi garam dapur
Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Tjokronegoro, 2001).
Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000).
Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004).
Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi (Wijayakusuma, 2003).
f. Merokok
Departemen of Healt and Human Services, USA (1989) menyatakan bahwa setiap batang rokok terdapat kurang lebih 4000 unsur kimia, diantaranya tar, nikotin, gas CO, N2, amonia dan asetaldehida serta unsur-unsur karsinogen. Nikotin, penyebab ketagihan merokok akan merangsang jantung, saraf, otak dan bagian tubuh lainnya bekerja tidak normal. Nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, dan tekanan kontraksi otot jantung. Selain itu, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung dan dapat menyababkan gangguan irama jantung (aritmia) serta berbagai kerusakan lainnya (Wijayakusuma, 2003).
Peningkatan tekanan darah ditunjang oleh pemekatan darah dan penyempitan pembuluh darah perifer akibat dari kandungan bahan kimia, terutama gas karbon monoksida dan nikotin serta zat kimia lain yang terdapat didalam rokok (Sitepoe, 1997).
Merokok akan mempengaruhi sistem kardiovaskuler seperti pemberian nikotin, misalnya denyut nadi naik, juga cardiac out put, tekanan darah dan tekanan perifer sehingga jantung harus lebih keras memompa darah untuk mensuplai oksigen. Zat kimia di dalam tembakau merusak jantung pada dinding arteri membuatnya lebih rentan terhadap akumulasi plak. Nikotin dalam tembakau juga membuat jantung keberja lebih keras karena menghambat pembuluh darah dan menaikan detak jantung dan tekanan darah. Efek ini terjadi akibat meningkatnya produksi hormon selana penggunaan tembakau termasuk peningkatan hormon efinefrin (adrenalin). Selain itu karbonmonoksida didalam asap rokok menggantikan oksigen didalam darah. Ini dapat meningkatkan tekanan darah karena jantung dipaksa bekerja lebih keras untuk memasuk oksigen yang memadai organ-organ dan jaringan-jaringan tubuh (Sheps, 2000).
g. Olah raga
Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olah raga isotonik dengan teratur akan menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olah raga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi kurang melakukan olah raga akan menaikan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Tjokronegoro, 2001).
Bentuk latihan yang paling tepat untuk penderita hipertensi adalah jalan kaki, bersepeda, senam, berenang dan aerobik. Olah raga yang bersifat kompetisi dan meningkatkan kekuatan tidak dibolehkan bagi penderita hipertensi karena akan memacu emosi sehingga akan mempercepat peningkatan tekanan darah (Kuswandi, 2007).
Arus sungai dapat disamakan dengan aliran darah didalam pembuluh, jika pembuluhnya mengecil maka tekanannya akan meningkat, sebaliknya jika pembuluhnya melebar maka tekanan akan menurun. Salah satu hasil latihan fisik yang teratur adalah pelebaran pembuluh darah sehingga tekanan darah yang tinggi akan turun.
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri (Sheps, 2000).
Latihan fisik berupa berjalan kaki selama 30-60 menit setiap hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan peredaran darah. Bagi penderita tekanan darah tinggi, jantung atau masalah pada peredaran darah, sebaiknya tidak menggunakan beban waktu jalan. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan wanita yang kurang aktivitas fisik dengan kelompok yang beraktifitas fisik dapat menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) faktor penting penyebab pergeseran arteri (Wirakusumah, 2002).
h. Stress
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Novianty, 2006).
Perubahan mental dalam memasuki masa lansia akan memberikan kontribusi pada kesehatan seseorang. Sikap hidup, cara hidup, perasaan atau emosi akan mempengaruhi perubahan mental lansia. Tipe kepribadian yang ambisi, merasa dikejar-kejar oleh tugas dan selalu berambisi harus lebih maju, umumnya saat memasuki masa lansia cenderung gelisah, mudah stress, was-was, mudah frustasi, merasa diremehkan, tidak siap untuk hidup di rumah saja dan sebagainya. Sebaiknya mereka yang berkepribadian tenang, keinginan untuk maju diimbangi dengan usaha berdasarkan pemikiran yang tenang pada umumnya tidak menunjukan perubahan mental yang negatif (Wirakusumah, 2002).
8. Komplikasi hipertensi
a. Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000).
Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak (Novianty, 2006).
b. Infark Miokard
Dapat terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000).
c. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000).
d. Encefalopati (kerusakan otak)
Tanda gejala dari encefalopati diantaranya nyeri kepala hebat, berubahnya kesadaran, kejang dengan defisit neurologi fokal azotermia, mual dan muntah-muntah (Stein, 2001).
Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
e. PIH (Pregnancy-Induced-Hypertention)
Wanita yang PIH dapat mengalami kejang. Bayi yang lahir mungkin memiliki berat badan lahir rendah akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat, dapat mengalami hipoksia dan asidosis apabila ibu mengalami kejang selama atau sebelum proses Persalinan (Corwin, 2000: 360). Hipertensi primer dijumpai pada satu sampai 3% dari seluruh kehamilan. Hipertensi ini lebih sering dujumpai pada multipara berusia lanjut dan kira-kira 20% dari kasus toksemia gravidarum. Sekitar 8-25% kehamilan disertai komplikasi hipertensi (Stein, 2001).
f. Retinopati hipertensip
Pemeriksaan funduskopi dapat menolong menilai prognosis dan juga beratnya tekanan darah tinggi. Keith, Wgner & Barker menemukan pertama kali bahwa penderita-penderita retinopati dengan golongan I (penciutan), II (sklerosis), III (perdarahan dan eksudat), IV (pupil edema) bila tidak diobati bisa bertahan lima tahun berturut-turut 85%, 50%, 13%, dan 0%. Penelitian belakangan ini menduga bahwa retinopati hipertensif tingkat III & IV berhubungan dengan prognosis jangka panjang yang jelek. Retinopati hipertensif yang lanjut (golongan III & IV) ditemukan kurang 10% dari semua penderita hipertensi dan merupakan indikasi untuk penelitian diagnostik dan pengobatan yang agresif (Ismudiati, 2003).
9. Pencegahan hipertensi
Hipertensi adalah masalah yang relatif terselubung (silent) tetapi mengandung potensi yang besar untuk masalah yang lebih besar. Hipertensi adalah awal untuk proses lanjut mencapai target organ untuk memberi kerusakan yang lebih berat. Karena itu, diperlukan upaya-upaya pencegahan hipertensi.
Dibawah ini adalah beberapa gaya hidup untuk pencegahan hipertensi:
a. Turunkan berat badan jika berat badan mengalami kelebihan (IMT > 27,3 bagi perempuan dan > 27,8 bagi laki-laki) dengan mengurang kalori diet dan berolahraga.
b. Tingkatkan olahraga aerobik (30-45 menit/ hari), misalnya jalan kaki agar cepat sampai mencapai tingkat kesegaran jasmani yang sedang.
c. Mengurangi konsumsi garam <>
d. Pertahankan konsumsi potasium/ kalium dalam jumlah cukup (90 mmol / hari). Lebih bagus yang berasal dari buah-buahan segar dan sayuran.
e. Pertahankan konsumsi kalium dan magnesium dalam jumlah cukup.
f. Berhenti merokok dan kurangi konsumsi lemak jenuh dan kolesterol untuk kesehatan jantung secara menyeluruh.
g. Setelah 30 tahun periksa tekanan darah setiap tahun.
(Mansjoer, 2001)
10. Pengobatan hipertensi
Aspek yang patut mendapat perhatian, yang juga merupakan tujuan dalam pengobatan darah tinggi masa kini ialah sebagai berikut :
a. Menurunkan tekanan darah ketingkat yang wajar sehingga kualitas hidup penderita tidak menurun.
b. Mengurangi angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) akibat komplikasi penyakit jantung dan pembuluh darah.
c. Mencegah pengerasan pembuluh darah (aterosklerosis)
d. Menghindarkan faktor resiko
e. Mencegah memberatnya tekanan darah tinggi
f. Pengobatan penyakit penyerta yang dapat memperberat kerusakan organ.
g. Memulihkan kerusakan target organ dengan obat anti hipertensi masa kini.
h. Memperkecil efek samping pengobatan.
(Wijayakusumah, 2003)
Pengobatan nonfarmakologi pada lanjut usia sama dengan pasien usia muda, meliputi penurunan berat badan bagi pasien gemuk, gerak badan atau aerobik secara teratur mengurangi konsumsi alkohol, diet rendah garan, diet tinggi serat dan sayur. Pengobatan farmakologi sedikit berbeda dibanding dengan pasien usia muda, perubahan-perubahan fisiologi yang terjadi pada lanjut usia menyebabkan konsentrasi obat menjadi tinggi dan waktu eliminasi menjadi panjang. Juga terjadi penurunan fungsi dan respon organ-organ adanya berbagai penyakit. Adanya obat-obat untuk penyakit lain yang sementara dikonsumsi, harus diperhitungkan dalam pemberian obat anti hipertensi.
Terapi pada lanjut usia untuk penderita hipertensi dapat dilakukan dengan cara mengurangi berat badan berlebihan, menghentikan merokok, melaksanakan pola hidup sehat dengan makan seimbang, mengurangi konsumsi lemak jenuh, makan makanan sumber kalium, mengurangi penggunaan garam, berolahraga secara teratur (Wijayakusuma, 2003).
Prinsip pemberian obat pada pasien lanjut usia :
a. Sebaiknya dimulai dengan satu macam obat dengan dosis kecil
b. Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
c. Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
d. Antisipasi efek samping obat
e. Pemantauan tekanan darah sendiri di rumah untuk evaluasi efektifitas pengobatan
(Tjokronegoro, 2001).
Obat anti hipertensi :
a. Diuretik Thiazide: basanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik sangat efektif pada lanjut usia.
b. Penyekat Beta (B-blocker)
c. Antagonis kalsium
d. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme), misalnya inhibace. Efek dari obat ini dapat mengubah rasa dan menurunkan selera makan sehingga dapat menyebabkan kehilangan berat badan
e. Obat anti hipertensi sentral (simpatokolitika)
f. Obat penyekat alpha
g. Vasodilator: menyebabkan melebarnya pembuluh darah
(Bustan, 1997)
Obat hipertensi harus diminum sebelum makan karena makanan dapat mengurangi kadar obat dalam darah sehingga dapat menurunkan efeknya (Wirakusumah, 2002).
Hal-hal berikut perlu diperhatikan untuk menangani hipertensi pada penderita yang berusia lanjut. Selain kondisi tubuh yang sudah tidak prima, penderita pun perlu ditangani secara lebih sabar dan telaten:
a. Tekanan darah di ukur pada posisi berdiri
b. Penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg setelah satu menit pada posisi tegak dianggap normal
c. Tekanan darah diturunkan bertahap. Bila tekanan darah sebelumnya lebih tinggi dari 180 mmHg tekanan diturunkan bertahap sampai sistol kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg.
(Wijayakusuma, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar